top of page
Search
  • cans gallery

Entang Wiharso dan Impian Tanah Menjanjikan

Updated: Nov 26, 2020


SINDOnews, Selasa, 24 November 2020 - 12:28 WIB

Bambang Asrini Widjanarko

Kurator Seni dan Esais isu Sosial dan Budaya


PROMISING Land Chapter 2 sebagai tajuk Bincang Virtual dan Presentasi Visual Desember 2020 ini dari seniman penting kita, Entang Wiharso menarik untuk ditelaah. Ia menggambarkan isu-isu migrasi budaya, dekolonialisasi, globalisasi dan seabrek masalah abad 21 yang dianggap telah meruntuhkan batas-batas etnisitas, geografi, ras dan keyakinan-keyakinan lapuk terdahulu.


Namun ternyata, realitas abad ini tidak demikian. Utamanya, jika kita merunut, bagaimana seni mampu memberi pesan kuat relasi yang kait mengait dengan erat antara pengalaman personal Entang, sebagai upaya pencarian diri di “ambang antara” yakni kondisi psikologis— in between spaces —dirinya, secara kultural dan genetik dari Indonesia dan dirinya yang lain dengan keluarganya yang berkarakter birasial dari Amerika Serikat serta peristiwa-peristiwa ketegangan psikologis yang dialaminya di Amerika Serikat.


Bincang Virtual dan Presentasi Visualnya bersama Can’s Gallery pada para apresian di Tanah Air ini membuka kesadaran bahwa globalisasi memunculkan tensi pengkristalan identitas, primitivisme dan kembalinya masyarakat pada keteguhan ras, keyakinan dan pilihan-pilihan ideologi yang sempit.


Pemaknaan di masing-masing geografi pun lokasi-lokasi spesifik di planet bumi ini kembali digugat, termasuk fenomena konflik secara maya di media sosial (kabar bohong dan hoax) dan realitas politik di Amerika Serikat yang tragik.


Tanah yang Menjanjikan Promising Land Chapter 2 dalam karya awal adalah dibayangkan balik ke tahun 2016 yang belum tuntas dengan dijabarkan dalam presentasinya kali ini pada 2020.


Karya Entang, mau tidak mau memaksa kita mengingat kajian paska kolonial, yang siapa lagi jika bukan sosokilmuwan seperti Homi K. Bhabha kita akan bersua. Seorang sarjana Inggris keturunan India dan ahli teori kritis. Ia menjabat Profesor Humaniora Anne F. Rothenberg di Universitas Harvard, AS.


Karya Entang dikaitkan dengan tesis Bhaba sangat dekat, sebab terutama konsepnya The Third Space, yakni ruang ketiga bagi realitas psikologis yang dialami seseorang atau sekelompok orang/ masyarakat yang mendapatkan “gegar budaya”. Menurut Bhaba itu adalah perwujudan identifikasi gejala “neologisme”yang ia bangun dengan konsep kuncinya fenomena-fenomena hibriditas, mimikri, pembedaan, dan ambivalensi.


Keempat konsep kunci cendekiawan Bhaba ini bisa ditelusuri jejak-jejaknya dalam karya-karya Entang Wiharso.


Sejak Entang mendapatkan fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, AS, karya-karya terbarunya memang memberi kejutan-kejutan dengan masih mendekat pada isu-isu sekitar satu dekade ini; mengulik menyoal lansekap fisik, psikologis dan peristiwa – peristiwa yang terjadi di Tanah Air keduanya, di Amerika Serikat.


“Saya tahu bahwa begitu banyak konflik politik tahun-tahun terakhir ini di Amerika, dari isu rasial, gerakan black lives matter sampai mungkin gejala xenophobia dengan sebutan kuasa “white supremacy itu”, katanya.


Maka Entang, berbekal dukungan penelitian dari fellowship Gugenheimingin menguak lansekap psiko-geografis merujuk pada sejarah sebuah tempat khusus dan pengalaman personalnya yang berkelindan dengan tempat secara lebih luas. Itu semacam upaya “memotret” ingatan komunal dengan kode-kode visual representasi masyarakat Amerika yang tersegmentasi sebab tendensi aspirasi politiknya.


Ia dengan hati-hati juga menafsirkan lansekap fenomena, yakni sekumpulan peristiwa sejarah dengan usahanya menyingkap, terutama peristiwa-peristiwa khusus yang besar dan penting yang terjadi di Amerika di masalalu dan terkini; yang kemudian dikristalkan dalam pengalaman sangat personal, seterusnya memproyeksikannya realitas itu dengan relasinya antara Indonesia dan Amerika.


Entang Wiharso yang menamatkan studinya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, yang ia memang mengintimasi dua budaya. Sejak 1997 hilir-mudik Yogjakarta-Amerika Serikat, maka tak heran keluarganya yang memeluk fenomena bikultural dan birasial tentu mewariskan keyakinan-keyakinan spiritualdan pandangan ideologi kolektif yang majemuk pula.


Ia dikenal memang piawai menggunakan bahasa visual yang dramatis, entah video, lukisan pun instalasibermateri aluminium industrial serta seni performansnya dengan karakter yang unik.


Sementara oeuvre atau inti karya seninya selama 25 tahun terakhir terkait dengan mitologi berusia berabad-abad dengan mewakilkan sosok-sosok enigmatik yang dikombinasikan kehidupan terkini gaya hidup hyper connected via internet abad ke-21. Dari masalah universal tentang kekuasaan, tragedi, cinta dan kemanusiaansampai rasa penasarannya dengan konsep ideologi, filsafat pun geografi.


Seniman fenomenal ini membingkai sedemikian rupa ekspresi visualnya dengan strategi kritik sosial, provokasi kognitif tentangidentitas dua budaya sampai gambaran yang rumit tentang psikologi ambang bawah sadar diri manusia.


Relasi Politik dan Pandemi


“Saya hidup dengan keluarga, bertetangga dengan sangat baik di Rhode Island, AS. Kita sekeluarga saling mendukung dengan komunitas masyarakat disana. Tapi, realitas politik berbeda, bahwa sejarah memberi petunjuk selain iklim politik yang begitu banyak pertentangan ideologi berhutang pada masa lalu yang mengunggulkan ras aseli. Justru ini memberi sumbangsih besar sebagai semacam upaya reflektif dalam karya-karya saya” ujar Entang saat wawancara dengan penulis.


Seniman yang lahir di Tegal, Jawa Tengah ini, menggambarkan bahwa karya seninya sangat berelasi satu sama lain, kegundahannya tentang impian akan Tanah yang Menjanjikan dan lokasi yang lebih baik untuk hidup sejak lama menyebadan dalam instalasi anggun berjuluk Temple of Hope (2009) sebagai model awal.


Karya tersebut menawarkan serial lanjutan terbarunya tentang Tunnel of Light, 2020, seperti energi spiritual-transedensi yang divisualkan oleh instalasi yang besar. “Karya itu semacam doa, bagi proyek yang disponsori oleh Yayasan Gugenheim bisa menjadi visi yang terealisasi di masa depan dengan instalasi raksasa yang riil,“ ujarnya.


“Saya telah membuat proyek penelitian panjang selama setahun, kemudian hasilnya adalah presentasi visual dengan model seperti yang bisa kita saksikan dalam Bincang Virtual dan Presentasi Visual Desember ini,” katanya menegaskan.


Entang bercerita bahwa Pandemi selama 9 bulan memang mengerikan, yang menurutnya menciptakan “gegap-gempita memilukan” dengan angka tertinggi kini melampaui 10 juta jiwa warga terinfeksi di AS.


Entang mengaku pada penulis, ia menemukan begitu banyak jalan keluar sebagai alternatif. Ia dituntun secara nalar sekaligus spiritual bahwa harus memilah dan memilih materi berkarya, terus membangun daya nalar kritis yang dikembangkan menghadapi hoax di internet dan peristiwa-peristiwa mengerikan yang disiarkan saluran televisi privat di Amerika Serikat.


“Saya menemukan bentuk bunga, kebun halaman belakang rumah sampai metaphor yang kaya pada karya-karya terbaru bahwa pandemi 9 bulan adalah saat kita merenungi segala yang hingar-bingar diluar dengan hal-hal kecil yang sebenarnya indah, di dalam hati kita untuk berdamai. Tanpa menafikan kita terus menemukan apa yang terbaik bagi hidup kita” imbuh Entang.


Karya-karya yang sejenis kemudian berhamburan keluar, di studionya Black Goat Studio yang di Rhode Island, AS. Itu memberinya kesempatan juga menemukan dan bereksperimentasi karya-karya lukisan digital atau karya lamanya selama dua tahun, yakni: City on The Move (2019-2020). Yang kemudian Entang andaikan sebagai kota-kota disepenjuru bumi terus saja berdetak apapun yang akan terjadi dengan ada atau tidak adanya wabah.


Promising Land Chapter 2 yang menjadi tajuk Bincang dan Presentasi Virtual Entang Wiharso ini segera menjadi gambaran kondisi terakhir bumi yang kita diami. Sebuah cita-citapencarian impian Tanah Menjanjikan, lokasi yang ingin diraih untuk sebuah harapan. Sesuatu yang sangat diidamkan yang mungkin tak hanya oleh Entang, namun seluruh umat manusia.


Tanah yang Menjanjikan, bisa jadi dilekatkan dengan pepatah kuno Jawa yang mendekam dikalbu bahwa satu saat kita menemukan “Negeri berkarakter Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo”. Sebuah negeri subur yang guyub, sejahtera dan masyarakatnya saling dukung dan seia sekata. Mungkinkah itu hanya sebuah utopia saja?



Promising Land #2, 2016, aluminum, car paint, resin, color pigment, steel, acrylic, thread, variable dimensions. Foto/Entang Wiharso

50 views0 comments
bottom of page