top of page
Fenomena Pertumbuhan Dalam Penciptaan
Fenomena Pertumbuhan Dalam Penciptaan 2
THE UNIVERSE SNILES
HUMAN AFTER ALL
Dreaming Together
Merasa Sunyi diKeramaian
Silent in Moon Light
Tapak Dara
Pantai Siung Wonosari
Our Existence within a scene (17-18-19)
Part of the Universe (black Euforia )
fractured

Garden Of
Dystopia

KEMBALI PADA (BENTANG) ALAM: SEBAGAI IRONI ATAU ILUSI?

Pameran ini merupakan sebuah cara berbagi kisah tentang beragam pengalaman seniman dalam kaitannya dengan alam dan lanskap. Meskipun karya-karya mereka secara khusus menggambarkan simbol atau bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan alam, tetapi tidak semua seniman mengekspresikan pemikiran yang kritis tentang ekologi semesta. Beberapa karya merupakan sebuah cara untuk mensyukuri keajaiban alam yang telah memberikan berbagai kenikmatan hidup pada manusia.

 

Lanskap dan alam telah lama menjadi bagian dari perkembangan seni dan estetika dalam seni rupa kontemporer global. Dari gagasan-gagasan yang pada awalnya terasa romantik—pergeseran dari romantisisme Eropa—hingga memasuki pemikiran-pemikiran yang lebih kritis, para seniman mencoba mengembangkan imajinasi baru tentang bentang alam raya. Seniman era romantik impresionis seperti Monet, gagasannya adalah memindahkan realitas alam ke atas kanvas untuk menjadi rekaman memori atas periode waktu tertentu. Pada masa pasca seni modern, gagasan tentang bentang alam bukan lagi perkara  memindahkan realitas visual saja, tetapi menjadi sebuah ruang di mana lanskap dan alam dilihat dalam kerangka pertarungan kekuasaan.

 

Lanskap dan alam telah bertransformasi dari gagasan estetik satu ke gagasan estetik lainnya, membentang dari realisme hingga kecenderungan pop-art dan bahkan konseptual, yang terus berkembang hingga kini. Seniman seperti David Hockney, misalnya, mengubah narasi tentang kehidupan sehari-hari yang cenderung urban menjadi narasi lanskap, seperti yang dilakukannya semenjak 2010an. Lanskap disulapnya menjadi imaji visual yang baru; berada di antara ambang fakta dan fiksi. Seri-seri ini misalnya muncul dalam pameran skala besarnya di Tate Britain pada 2017,  di mana Hockney membawa teks tentang alam dan lanskap dari suasana di Yorkshire, California; pepohonan, daun, jalanan yang dikelilingi lahan gandum,  yang beberapa di antaranya menggabungkan pula teknis melukis dengan moda digital (menggunakan applikasi),

 

Dalam konteks lanskap, di Indonesia sendiri tradisi awal dalam konteks seni modern muncul dalam kasus genre lukisan mooi Indie, yang terutama lahir pada periode ketika kolonialisme memasukkan nilai-nilai seni modern. Mooi Indie menjadi terminologi kategori yang digunakan untuk menunjuk karya-karya yang mereproduksi gagasan kolonial tentang bentang alam Indonesia. Para seniman Eropa datang ke tempat-tempat yang jauh, menggambarkan ingatan tentang alam yang indah, dengan karakter visual yang cukup kuat yang menggambarkan  eksotisme cara pandang Eropa tentang Indonesia, termasuk dibuat beberapa kali oleh Raden Saleh untuk melayani selera pejabat Belanda. Konsep lukisan modern ala Mooi Indie inilah yang pada awalnya mengawali jejak sejarah seni Indonesia, sampai kemudian mendapat tentangan ideologis dari pelukis generasi baru seperti S. Soedjojono. Soedjojono mempertanyakan Mooi Indie sebagai representasi dari gagasan eksotisme tentang Hindia Belanda dari perspektif kolonial, dan karenanya tidak membangkitkan semangat nasionalisme. Basoeki Abdullah, salah satu pelukis realis lanskap Indonesia yang paling dikenal, meneruskan tradisi menggambar alam ini hingga menjelang akhir hidupnya, merekam beragam tempat yang pernah disinggahinya. Dari Mooi Indie hingga Basoeki Abdullah dan pelukis-pelukis pada generasi berikutnya ini, pada kenyataannya gagasan yang paling mendasar tentang lukisan hidup dalam keseharian masyarakat kita. Ia menjadi citra visual yang paling banyak ditemui dalam rumah dan hunian atau juga ruang-ruang bersama seperti tempat makan, kantor, dan lainnya.

 

Moda-moda kerja di mana seniman berhadapan langsung dengan alam sekarang ini menjadi sebentuk cara untuk mengambil pengalaman yang lain, untuk keluar dari konstruksi mediasi—di mana seniman membuat replika realitas dari medium-medium teknologi seperti kamera, internet, dan sebagainya—dan membawa tubuhnya masuk ke dalam fenomena alam tersebut. Moda ini misalnya dikerjakan oleh Putu Sutawijaya yang mendatangi beberapa area atau lokasi yang menjadi menarik karena sejarah atau karena situasi alamnya, dan membuat lukisan langsung di sana dalam gaya atau cara tafsirnya atas realitas alam tersebut. Bagi Putu Sutawijaya, seri ini juga menghadapkan manusia pada alam, yang dirasakan semakin intensif di masa pandemi. Masa-masa isolasi juga memberikan perasaan “kesepian” yang tidak melulu memberikan nuansa melankolis, tetapi juga rasa energi yang lahir dari kesepian tersebut. Lukisan Putu Sutawijaya juga menunjukkan bagaimana proses ritual religi yang dilakukan secara bersama-sama juga menggarisbawahi keinginan manusia untuk keluar dari kesepian. Sebuah lukisan dalam seri ini, “Tapak Dara” menggambarkan tradisi upacara untuk menolak bala dalam kepercayaan Bali, yang beberapa kali dilakukan di masa pandemi.

 

Lukisan-lukisan semacam ini tentu menunjukkan energi yang spontan dan kecepatan tangan tertentu—yang diolah tidak saja berdasarkan ketrampilan tangan atau skill, melainkan juga kemampuan menyerap berbagai pengalaman indrawi dan menerjemahkannya dalam simbol visual di lukisan. Meskipun moda kerja ini seringkali dilihat sebagai moda konvensional pada masa sekarang, agaknya kita tidak bisa menolak bagaimana pengalaman indera itu dimunculkan sebagai “aura” karya.

 

Karya-karya dari kelompok Tempa, “Human Afterall” dan” The Universe Smile”, sebaliknya, seperti menerjemahkan tangkapan visual atas bentang alam ke dalam citra dunia digital. Sebagai bagian dari generasi di mana realitas virtual dan realitas nyata telah bercampur baur, Tempa mencoba untuk melihat irisan tersebut sebagai metode berkarya yang produktif. Karya-karya Tempa barangkali bisa menunjuk pada ingatan tentang bagaimana ornamen-ornamen karya rupa masa lalu misalnya batik atau ukiran, banyak sekali mengambil inspirasi dari alam dan tetumbuhan. Dalam khazanah batik masa lalu misalnya, setiap daun dan bunga memiliki maknanya sendiri, sehingga mereka mempunyai waktu-waktu tertentu untuk dikenakan. Dalam konteks waktu dan zaman yang berbeda, hadirnya tetumbuhan sebagai inspirasi dari karya visual menunjukkan bagaimana generasi masa kini merekam relasi manusia dengan alam, dan bagaimana tumbuhan menjadi bagian dari kehidupan manusia setiap waktu. Karya-karya Tempa, menariknya, seperti menunjukkan gaya untuk menampilkan dedaunan, pohon dan bunga seperti ilustrasi botanis, sehingga ia memberi kesan memindahkan tradisi gambar scientific dalam moda karya seni rupa kontemporer. Selama masa isolasi untuk menghindar dari pandemi, tren bertanam menjadi sesuatu yang sangat populer, di mana manusia merawat kehidupan lain dalam rumahnya, dan bahkan menjadikan tanaman sebagai bagian penting dari estetika dan interior domestik masa pandemi. Secara konteks sosial, Tempa membawa fenomena “bertanam di rumah” sebagai konteks sosial dari karya-karyanya di periode ini.

 

Hal yang sama bisa ditemukan pada karya-karya Rendi Raka, “Fenomena Pertumbuhan dalam Penciptaan”, yang juga secara kuat menunjukkan pengaruh citra-citra gambar digital yang dipenuhi warna-warna cerah yang memenuhi kanvas. Meski demikian, karya Rendi tidak tampil dengan gaya ornamentik, melainkan mendekati moda abstrak, di mana bentuk-bentuk daun dan tetumbuhan didistorsi dan dirusak, seperti menantang penonton untuk memunculkan makna baru dari  bentuk yang berubah. Ketimbang menampilkan realitas, Rendi memunculkan bentuk-bentuk yang dekat dengan asosiasi makna tertentu. Semesta dalam kanvas Rendi adalah sebuah bentangan alam yang bertumpuk satu sama lain, dari lembah, bukit, batu, jurang, pepohonan, jamur, dan sebagainya, dan tidak berdiri sendiri satu sama lain.

 

Valasara dikenal melalui karya-karyanya yang mencoba mengusik pandangan yang mapan tentang lukisan atau irisannya dengan bentuk tiga dimensional; meskipun sepintas karyanya tampak sebagai lukisan, akan tetapi Valasara melakukan proses penciptaan yang memberikan aspek-aspek lain ketimbang definisi lukisan yang menorehkan cat pada kanvas, terutama menggunakan kain dan benang-benang. Karya Valasara dalam pameran ini, “Part of the universe (Black Euforia) juga menunjukkan simbol-simbol yang merekam relasi antara manusia dan kehidupan (melalui bentuk kuil atau candi), yang dibuat seperti terombang-ambing di antara orang-orang yang mengangkat tradisi itu di pundaknya, seperti ada beban. Manusia-manusia yang muncul dalam kanvas ini menggambarkan bagaimana ritual dan tradisi adalah hal yang selalu menjadi pengikat bagi sekelompok manusia, membangun kerja-kerja dan nilai-nilai kolektif yang diyakini bersama. Secara khusus, dalam seri karya ini, ia melihat bagaimana kontradiksi dalam upacara kematian di Bali, yang seharusnya menjadi momen kesedihan, tetapi dirayakan seperti berfoya-foya.

 

Karya Andi Dewantoro sebagian besar menunjukkan aspek keruangan yang cukup kuat. Kanvasnya lebih menjadi representasi dari sebuah lanskap yang berubah karena ada intervensi manusia dalam bentuk bangunan, teknologi dan ruang baru. Dalam kehidupan masyarakat modern, teknologi merupakan penanda utama dari perubahan peradaban, dan terutama dalam konteks lanskap kota, teknologi ruang selalu menjadi wajah atas bergesernya tata nilai dan pranata masyarakat. Melalui lukisan Andi menunjukkan bagaimana objek ciptaan manusia seperti mobil (yang juga menjadi penanda gagasan baru tentang ruang dan mobilitas) berdampingan dengan bentang alam yang “natural”; hamparan saljut dan pepohonan. Karya-karya Andi Dewantoro acapkali memunculkan kepingan kisah yang dicuil dari satu gambaran besar sebuah fenomena. Dari yang sepotong ini, kita bisa mengartikan tanda-tanda yang muncul satu sama lain, seperti kenangan hidup yang acap kita ingat dalam satu fragmen tertentu alih-alih membuka bentang gambar yang lebih besar.

 

Meskipun berjudul “Rimba”, karya Mangu Putra tidak menggambarkan situasi hutan dalam citranya yang stereotipikal. Gagasan rimba justru dimunculkan dari penampakan akar pohon yang tampak telah tua, mengalami pergeseran alam, iklim dan cuaca barangkali selama ratusan tahun, Mangu Putra sengaja melesak masuk, menggambarkan dengan dekat, cermat, dan rinci bagaimana serabut akar saling bertindih satu sama lain, dengan warna yang berganti dari coklat kayu menjadi hijau karena lumut. Pohon yang telah tua menyimpan sejarahnya sendiri, yang merekam suara burung-burung berkicau di dalamnya, terpaan sinar mentari di waktu pagi, atau dialog-dialog mereka dengan binatang-binatang dalam habitatnya. Bisa jadi, dengan mengartikannya dalam konteks simbolisasi akar yang biasanya menunjuk tentang jejak terdalam kemanusiaan, Mangu juga sedang membayangkan bagaimana akar peradaban manusia menjadi lepek dan tua, telah berubah wajah. Perubahan sendiri adalah sesuatu yang niscaya dan tak terhindarkan, sehingga antara menghijau atau menua cokelat, tak ada yang benar-benar tahu mana yang lebih baik.  

 

Karya Kemalezedine memberikan tawaran interpretasi atas bentukan abstrak, dan bagaimana kecenderungan abstrak yang berbasis komposisi dan warna sesungguhnya juga mengamplifikasi relasi persepsi dan citra visual manusia, yang meskipun tampak seperti abstraksi tetapi seperti muncul sebagai bentangan alam, meskipun tidak disengaja. Pada seri karya terdahulu, Kemal Ezedin menjelajahi bagaimana pengaruh tradisi lukis baru pada kecenderungan karya-karya kontemporer, terutama dalam pemaknaan dan penubuhan atas warna, garis, komposisi, yang dibuat dengan tindak bekerja yang kontemplatif dan intuitif.  Jika diperhatikan dengan seksama, seri “Our Existence within a Scene #17 #18 #19” ini memunculkan asosiasi yang dekat dengan alam, seperti bentukan ala bebatuan, atau menyerupai daun, yang kemudian dihadapkan dengan penumpukan atau penghimpunan warna demi warna. Terpisah maupun menyatu, tiga seri gambar (drawing) pada kanvas menggunakan tinta (ink) ini juga memberikan kesan topografi ataupun bentang geografi, hampir membentuk peta imajiner, yang kemudian dapat terhubung dengan persoalan “posisi” atau “kehadiran” yang dimunculkan oleh seniman dalam judul karyanya, dalam sebuah skena (babak).

 

Entang Wiharso, membawa fantasi sebuah keluarga untuk pergi menuju tempat yang tampaknya jauh, menumpang kuda terbang menembus batas cakrawala. Seperti pada beberapa seri sebelumnya, Entang membentuk objek yang berkesan dua dimensional, tetapi dengan volume yang menonjol dan nyaris menyerupai relief, Jika bentang alam sebagaimana yang telah kita bahas dalam tulisan-tulisan seniman lain menunjukkan interpretasi visual yang mengambil langsung simbol-simbol alam, pada karya Entang justru ada gestur untuk pergi meninggalkan alam, memasuki sebuah dunia yang lain. Apakah sekeluarga ini pergi menuju surga? Dalam fenomena masa kini, tindakan pindah menuju ruang dan kehidupan baru ini dapat disejajarkan dengan gagasan “hijrah” (yang acap lebih diartikan secara ideologis), atau juga tergambar dalam citra ribuan keluarga di berbagai tempat untuk mencari kehidupan baru di wilayah lain (migrasi). Sosok-sosok yang digambarkan Entang seperti menunjuk pada keluarga yang masih berada dalam ambang udara, tidak di sini dan tidak di sana, berjuang untuk terus ‘meng-ada”. Sebuah karya yang dengan tepat menjadi penutup narasi tentang gagasan ekologis dan lingkar hidup alam, di mana manusia menjadi bagian penting dari yang mengubah sistem kerja alam (secara langsung dan tidak), dan pada akhirnya, manusia seperti terbang menuju sebuah tanah harapan baru, yang dibayangkan seperti surga.

 

Pameran ini merupakan refleksi dari seniman-seniman masa kini tentang bagaimana bentang alam dan keindahannya selalu menjadi sumber inspirasi dan pemantik indera dalam menggores kanvas mereka. Meski sebagai tema perihal bentang alam ini terkesan cukup klise, sebagaimana kita sering sekali menemukan kata “senja” dalam larik sebuah puisi. Akan tetapi, dalam karya-karya seniman yang turut dalam pameran ini, kita bisa melihat jejak pencarian semangat dan upaya melihat yang lebih sesuai dengan apa yang terjadi pada zaman ini. Bentang alam direka sedemikian sehingga punya kesan “trendy”, “ringan”, “fotografis” dan bahkan “rebel”. Para seniman menampilkan pandangan-pandangan yang mencoba keluar dari visi estetik yang tampak sebagai gaya lama dalam menampilkan bentang alam.  Setiap generasi dan setiap periode waktu mempunyai cara sendiri dalam memunculkan kembali ingatan manusia atas semesta; jika pun sesekali ada gagasan romantik atau nostalgis yang dimunculkan, sepertinya ini pun tak terhindarkan. Pada titik tertentu, menghayati keberadaan kita dalam semesta, adalah sebuah upaya melawan waktu yang bergerak kian cepat. Ketika menatap bulatnya purnama, kemilau matahari, misteri bima sakti, kita sedang menjaga agar panca indera kita selalu terasah mencerap kebesaran alam raya.

 

Tapi pada saat yang sama kita juga menyadari, bahwa tantangan dalam kehidupan modern memunculkan relasi-relasi yang ambigu antara manusia dan alam; eksploitasi atas nama kemajuan ekonomi, gentrifikasi dan hilangnya lahan-lahan pangan, rusaknya siklus kehidupan dan ekosistem lingkungan, pencemaran baik dalam laut, sungai, tanah maupun udara, serta berbagai intervensi manusia yang menyebabkan perubahan iklim radikal. Karenanya gagasan tentang bumi sebagai surga yang indah barangkali menjadi ilusi belaka; atau menjadi surga bagi para gangster.

 

Beberapa seniman dalam pameran ini menunjukkan situasi-situasi khusus yang lahir pada masa pandemi, yang merupakan refleksi tentang perubahan besar dalam peradaban manusia. Para seniman melihat bahwa dengan caranya sendiri, pandemi membawa manusia pada titik di mana relasinya dengan ruang dan bentang alam mengalami pergeseran, meskipun subtil dan terasa pelahan. Mereka mengekspresikan kegelisahan, perasaan kesepian, kecemasan akan ketidakpastian, dan situasi emosional lain yang barangkali selama ini tidak dikenali. Dengan menggunakan pandemi dan covid sebagai momentum, para seniman juga melihat bagaimana relasi yang berubah dengan alam seharusnya membuat manusia punya kesadaran untuk lebih menjaga planet bumi dan kehidupan yang tumbuh di dalamnya.

WHAT

Group Exhibition

Andy Dewantoro

Entang Wiharso

Kemalezedine

I Made Wiguna Valasara

Putu Sutawijaya

Rendy Raka Pramudya

Tempa 

WHERE

Can's Gallery

WHEN

May 2021

bottom of page