top of page

Debu

Gambar-gambar apakah ini?Dapatkah karya-karya ini kita sebut begitu saja sebagai gambar?Atau racana, struktur, pola?Adakah objek nyata yang digambar si penggambar?Apa yang mau digambarkan Rega melalui karya-karya dwimatra ini?Pertanyaan-pertanyaan semacam ini wajar dikemukakan kalau kita melihat pameran ini.

 

Rega Ayundya Putri menyelesaikan pendidikan seni rupanya di Jurusan Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB) pada 2006-2012, lalu berlanjut pada 2014-2016.Seperti kebanyakan para perupa lainnya, iamula-mula tertarik pada gubahan yang menampilkan citra sosok, bagian-bagian tertentu tubuh manusia. Beberapa karya patungnya pada masa awal studi formalnya menunjukkan hal itu.Sebelum menempuh pendidikan magister di ITB, pada 2013 ia pergi memperdalamseni ilustrasi kontemporer di College of Adult Education dan life drawing di Melbourne Art Centre, Melbourne, Victoria, Australia. Di masa inilah agaknya perhatian Rega pada wacana gambar makin bertumbuh.

 

Pada sekitar 2014, gambaran mengenai sosok yang pernah memikatnya tidak lagi menjadi pusatperhatian Rega.Alih-alih membuat patung, kecenderungan menggambar dengan memanfaatkan alat-alat tulis sederhana seperti buku gambar, secarikkertas dan bolpoin lebih menarik Rega. Dan alih-alih figur nyata manusia, pada bidang gambarnya muncul bentuk-bentuk organik yang mengingatkan kita akan berbagai citra abstrak alam, kalau bukan purwarupa-nya. Tarikan dan gubahan garis-garis lengkung, lurus, yang luwes dan yang lugas pada gambar-gambarnya mencitrakan berbagai raut abstraksiyang kaya.Citra semacam itu memperlihatan kehalusan dan kerumitan, menyifatkankepaduandan keindahan rupa dekoratif, yakni penyerupaan, perulangan, keselarasan, penjajaran gatra.Gatra adalah unsur-unsur dalam sebuah gubahan yang saling memiliki kemiripan raut atau bentuk.

 

Gambar racana—desain, rancangan, gubahan atau struktur—yang dinamis juga tersirat di permukaan kertas gambar Rega.Pola-pola bentukmemancar atau mengembang, surut atau meredup, tampak mandeg atau mengalir, mendesakatau sembunyi, satuan atau himpunan, tunggal atau jaringan, tertib atau acak, bukankah semua itu membawa kita kepada pikiran mengenai asas-asasdinamika kehidupan, asosiasi perihal proses dan pengembangan? Tiap pangsa atau kelompok racana tertentu niscaya saling terhubungatau bersinggungan dengan pangsa lain dalam susunan “kehidupan” atau gubahan lebih besar. Kita menyaksikan terutama kekayaan raut garis atau himpunan lanjar (linier), keasyikan permainan bentuk serupa atau mirip, perulangan surut, kuncup, mengecil atau mekar, mengembang, mengingatkan kita pada citra-citra biologis, mata-rantai atau metastasis perilakusel, seandainya penglihatan kita diperbesar.

 

Memang sesekali Rega masih menampilkan citra sosok orang pada sejumlah gambarnya, seperti tampak pada beberapa karya dari 2015.Tapi gambaran semacam itu, yang menampilkan bagian-bagian tertentu sosokmakin merupakan pangsa atau fragmen dari keutuhan racana organisme yang lebih padu dan besar, dan tentu saja dalam gambaran lebih mujarad.Wujud dari “anganan nirada” atau lengkara, yang tidak mungkin ada dalam istilah Sudjoko.Disebut “anganan” karena bentuk berasal dari angan-angan perupa sendiri, “niskala” atau tak berwujud seperti halnya jiwa, roh, semangat, hasrat, gagasan perasaan.

 

Gaya dekoratif Rega berkembangseiringtumbuhnya minat pada spiritualisme.Studi magisternya di ITB tentang wacana gambar memang menyinggung topik ini.Rega tergugah oleh pandangan religiositas dan perihal eksistensi diri personal pada tradisi sufisme di dalam Islam. Sejak 2016 iamemutuskan untuk menerapkan wawasan esoterik ini pada proses kerja menggambarnya. Perenungan baru ini menghasilkan jenis gambar-gambar Rega yang —jika kita cermat mengamat-amatinya—berbeda dengan sebelumnya.

 

Perubahan pertama berkenaan dengan pikiran mengenai pokok yang digambar.Sejalan dengan menghilangnya gambaran mengenai sosok, Rega mengarahkan perhatiannya pada citra mikroskopik tubuh manusia.Ia tidak hanya tertarik pada citra permukaan—misalnya kulit—tetapi juga organ dan faal tubuh yang di dalam.Ia melangkah ke perbatasan antara anganan dan yang nyata.Pengaruh yang kedua terjadi pada renungannya atas tindakan dan proses menggambar itu sendiri. Ia merasakan dorongan primal, sejenis otomatisme ketika menggambar.Dorongan spontan ini pada gambarnya melahirkan berbagai raut garis sangat sederhana—satuan garis-garis kecil dan esensial yang ditorehkan berulang-ulang—yang dikerjakan tanpa melalui rancangan atau persiapan.Tentu, ini bukan kebiasaan yang sepenuhnya baru bagi Rega.Kespontanan— ketidakajegan, perubahan, anti-racana—juga merupakan kebiasaannya ketika menggambar wujud-wujud organik sebelumnya.Namun, penekanan pada otomatisme dengan tegas telah melenyapkan berbagai intensi menggambar sesuatu, atau ketiadaan hasrat mengasosiasikan rupa dengan bentuk riil kehidupan tertentu.

 

Dua pokok pikiran ini bagi Rega sesuai dengan wawasan esoterik mengenai angan-angan yang lain: keterhubungan antara jagat besar dan jagat kecil, perihal alam raya dan keterpencilan manusia di tengah keluasannya. Dalam kepercayaan sufisme, kedua dunia itu adalah substansi yang dianggapmemiliki kesejajaran,saling mengandaikan dan merefleksikan.Keintiman perasaan yang dirasakan oleh penggambar di dalam proses menggambar pada satu sisi menegaskan hadirnya dimensi esoterik-internal si penggambar. Kedekatan juga muncul melalui penggunaan bahan-bahan dan alat gambar yang tidak berjarak di dalam keseharian, kebiasaan yang sudah dikerjakannya sejak lama. Di sisi lain, praktik mengulang-ulang bentuk di dalam menggambar diyakini melahirkan situasi dan mengandaikanmaknatertentu untuk mengatasi keterpencilan penggambar. Kekhasan gambar dengan demikian memperoleh maknanya melalui proses menggambar.

 

Rega pergi ke refleksinya sendiri perihal zikir dalam ritual keagamaan: ungkapan berulang atau litani puji-pujian. Baginya, inilah situasibeyond – istilahnya sendiri—yang mengartikanjagat kecil si penggambar sebagaibayangan jagat besar di luarnya. Pada kondisi beyond, cara menggambar secara repetitif dimaknai sebagai upaya melampaui praktiknya sendiri.Suasana menggambar dinikmati oleh penggambar sebagai keheningan meditatif.Rega menyebut gambarnya pada tahap ini sebagai gambar eksperimental yang menghubungkan tiga titik: gambar sebagai tindakan primer, ranah spirit dan citra imajiner kosmos. Yang pertama terkait dengan metode otomatisme yang diyakini sebagai praktik intuitif dan ungkapan bawah sadar si penggambar.Pokok kedua berkenaan dengan keragaman manifestasi realitas melalui pandangan spiritualis, dan ketiga adalah imajinasi penggambar yang digugah oleh citra mikroskopis objek gambar.Perluasan renungan atau angan-angan dan perkembangan wacana gambar inilah yang kita saksikan pada karya-karya terbarunya di pameran ini.

 

 

***

 

 

Keintiman personal tentunya bukan sama sekali baru di lingkungan seni rupa kita.

Keintiman dengan apanya, kiranya segi itulah yang membedakan ragam pendekatan para perupa dalam perkara ini.Pada 1980-an kritikus Sanento Yuliman mengamati kecenderungan “intimisme”  padapameran karya cetak sejumlah perupa muda di lingkungan FSRD-ITB. “Intimisme”, yakni “pandangan dekat kepada benda-benda, kepada struktur rinci benda-benda sehari-hari” telah menarik perhatian sang kritikus. Dalam seni lukis kita sekalipun, katanya hal ini perkara langka.Pelukis kita cenderung melihat benda seutuhnya, lalu dengan coreng-morengnya mengorbankan struktur dan rinci benda demi “ekspresi”.

 

Tentu ada banyak cara untuk menunjukkan keintiman, dan masih terbukapula berbagai kemungkinan menafsirkan apa yang dianggap intim bagi seniman. Salah satu upaya mengungkap keintiman di masa belakangan adalah penggunaan medium dan bahasa gambar serta praktiknya dengan bahan dan alat-alat tulis yang biasa. Di lingkungan FSRD-ITB, kecenderungan ini antara lain telah didorong oleh pengampu yang tertarik dengan kemampuan menggambar para mahasiswanya. Mereka didorong untuk memanfaatkan segala rupa bahan yang dekat dengan kebiasaan sehari-hari.Muncul sejumlah seniman muda—dari berbagai jurusan—yang tertarik untuk menghasilkan beragam gambar dengan menggunakan bolpoin.Gambar-gambardi atas kertas yang linearly, terkesan konseptual dan canggih segera memperoleh pamor yang tak kalah dibandingkan lukisan kanvas yang painterly.

 

Rega, sejak 2010 ada di antara barisan para penggambar ini, yang mulai meluaskan kebiasaan menggunakan bolpoin untuk menggambar.Para pendekar muda gambar ini—dan tentunya masih ada sejumlah lagi yang lain—umumnya tergugah oleh pikiran yang timbul dari objek-objek sekitar yang dekat (Michael Binuko), kerumitan ruang urban (Kara Andarini), dan gambar tubuh si seniman sendiri (Claudia Dian).

 

Keintiman pada karya Rega bertumpu pada proses menggambarnya, bukan pada pokok yang digambarkan. Gambarnya jauh dari kesan membuat coreng-moreng, salah satu ungkapan keintiman yang sering ditunjukkandi ranah seni lukis.“Ekspresi”  torehannya—untuk menggunakan istilah yang sangat umum itu—justru rinci, terbatas,tenangdan halus. Jika “ekspresi”hanya mendekatkan kita pada kelugasan coreng-moreng, kita tidak akan menjumpai citra greget sejenis pada karya Rega. Ungkapan ekspresif pada gambarnya sebaliknya dipraktikkan dengan caramenahan, membatasi atau mengendalikan torehan garis-garispensil yang tipis.Alih-alih menandaskan hubungan dengan “benda yang seutuhnya”, ekspresi gambar Rega adalah satuan dan torehan patah-patah yang tampak mengambang.Pembatasan dan pengendalian inilah yang menciptakan suasana esoteris pada gambarnya.Dan dengan memperhatikan sekali lagi alat tulis yang digunakan—bolpoin dan kini beralih pada pensil—dapatkah kita katakan bahwa gambar Rega adalah perluasan menulis?Seperti halnya orang di masa lalu mengartikan membatik sebagai perluasan atau penjembaran dari titik, menggambar seperti layaknya menulis?

 

Sekarang perhatikan gambar-gambar Rega lagi di pameran ini.Kita dapat menyebut bahwa ia menggambar sesuatu, tentu saja. Tetapi sesuatu itu makin tidak menyerupai rupa kehidupan tertentu, dalam arti yang sesuai dengan pengalaman kita akan bentuk-bentuk yang hidup. Sebaliknya gambar Rega mengundang kita untuk mengamati-amati sajaapa yang ditorehkannya, yang mengambang di permukaan kertas. Undangan mengamati seperti ajakan untuk merasa-rasakan pengalaman pertama torehan, awal mula garis dibentuk sebelum angan-angan akan gambaran tampil. Maka, kita dapat mengatakan pengalaman visual yang ditawarkan Rega, alih-alih perihal bentuk, adalah pra-bentuk.

 

Amatilah bahwa Rega memang tidak bermaksud menggambar dan meniru bentuk.Ia malah sesungguhnya mencacah-cacah bentuk, menghimpun anasir-anasir kecil sebelum meminta kita mengamatinya lebih dekat. Anasir gambarnya adalahraut-raut kecil, sejajar dengan batas penginderaan kita melihat yang kasat mata: debu. Sebuah titik adalah bentuk dan bentuk-bentuk sebesar apa pun, dari jarak pandang tertentu akan berupa titik-titik debu. Seperti bumi adalah sebuah bintik kecil biru dalam jagat raya dan partikel adalah sebuah kehidupan besar dalam perspektif mikroskopik.Demikianlah maka raut-raut kecil pada gambar Rega adalah imaji yang “dihidupkan” melalui hasil pembesaran, dan sebaliknya citra organisme yang “hidup”, bangkit dari sembarang wujud pada gambarnya merupakan khayalan atas sebuah jagat kecil atas raut debu yang “mati”. Itulah paradoks visual gambar-gambar Rega.

 

Paradoks-paradoks itu membuat Rega menyebut apa yang digambarkanya adalah sebuah “potret diri”. “Jika saya mengamati permukaan kulit saya sendiri dalam jarak sangat dekat, dan saya memperbesarnya dan menggambarnya ulang, maka bukankah itu adalah potret diri saya sendiri?”ungkapnya.Citra permukaan kulit adalah metafora yang “hidup” atas raut sel mati dan potret diri adalah ungkapan formal di dalam bahasa sebagai representasi kehidupan mental.

 

Kita perlu melihat penekanan lain pada abstraksi lanjut potret diri Rega. Kotak-kotak jambon yang tipis mengambang yang kita saksikan pada gambarnya adalah anganan lain dari citra kedirian penggambar.Kini seluruh agendapersonal kita bisa kita kantongi sebagai data digital dalam gawai mungil kita.Informasi mengenai belanja bulanan, jumlah kalori yang kita konsumsi, rutinitas hobi, jarak tempuh perjalanan, tanggal menstruasi, ritme jantung, berat badan dan sebagainyadapat ditampilkan secara akurat sebagai rekaman grafis digital. “Unggahan”data-data itu pada gambar-gambar Rega tertampilkan sebagailapisan-lapisan bentuk dan warna yang lain. Citra itu seperti patok-patok yang menegaskan sebuah potret diri abstrak sang seniman.

 

Istilah “potret diri” barangkali terlalu sederhana untuk menggambarkan pencarian esoteris si seniman.Data digital boleh jadi terlampau abstrak untuk menampilkan wajah “nyata” kedirian dan keutuhan seseorang.Rega menggunakan istilah eksistensi untuk menggambarkan abstraksi suatu organisme di dalam jejaring sosialnya.Eksistensi penggambar dalam kehidupan nyata berkelindan dengan bentuk-bentuk nyata maupun yang tak nyata yang seluruhnya mesti dianggap sebagai realitas yang konkret.Dan di dalam gambar ia mau menampilkan seutuhnya ekspresi kedirian esoteris melalui representasianganan tak nyata yang diyakininya sebagai benar dan orisinal. ***

 

 

Jakarta, 12 Maret 2020

Hendro Wiyanto

WHAT

Solo Exhibition by Rega Ayundya

WHERE

Can's Gallery

WHEN

20 July - 20 August 2019

bottom of page